Komunitas Miya Muslim di Assam, India, kini menjadi sorotan dunia internasional akibat gelombang penggusuran dan ancaman kehilangan kewarganegaraan. Mereka adalah keturunan petani Muslim dari Bengal Timur yang dibawa oleh Inggris ke Assam lebih dari seabad lalu untuk mengolah lahan rawa di tepi Sungai Brahmaputra. Meski sudah menetap selama beberapa generasi, stigma “pendatang ilegal” terus menghantui mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, rumah-rumah warga Miya Muslim di berbagai distrik Assam dihancurkan dengan dalih menempati tanah negara. Bulldozer menjadi simbol utama dari kebijakan keras pemerintah negara bagian yang dipimpin Partai Bharatiya Janata Party (BJP). Akibatnya, ribuan keluarga kehilangan tempat tinggal dan terpaksa hidup tanpa kepastian masa depan.
Sejarah komunitas ini bermula pada akhir abad ke-19 ketika administrasi kolonial Inggris mengimpor petani Muslim dari Bengal Timur. Mereka diberi lahan untuk meningkatkan produksi pangan Assam. Seiring waktu, komunitas tersebut berakar dan berkembang, membangun rumah tangga, sekolah, dan masjid. Namun, keberadaan mereka justru memicu sentimen etnis dan politik lokal.
Pasca kemerdekaan India pada 1947, Miya Muslim sering dituduh sebagai orang asing, terutama setelah konflik India-Pakistan. Tuduhan itu semakin kuat ketika pada 1971 Bangladesh merdeka dari Pakistan Timur. Migrasi besar-besaran pengungsi saat perang menambah kecurigaan terhadap seluruh komunitas Bengali Muslim di Assam.
Kecurigaan ini memuncak dalam Gerakan Assam pada 1979–1985. Gerakan tersebut menuntut diusirnya migran ilegal dari negara bagian. Akhirnya, Perjanjian Assam 1985 menetapkan 24 Maret 1971 sebagai batas waktu: siapa pun yang datang setelah tanggal itu dianggap pendatang ilegal. Aturan ini menjadi dasar bagi diskriminasi panjang terhadap Miya Muslim.
Sejak saat itu, kehidupan Miya Muslim penuh keterbatasan. Mereka mengalami kesulitan mengakses tanah, pendidikan, dan pekerjaan layak. Istilah “Miya” sendiri yang semula netral berubah menjadi sebutan peyoratif yang merendahkan. Di mata sebagian kelompok Hindu Assam yang radikal, mereka tetap dianggap “orang luar” meski sudah empat hingga lima generasi tinggal di India.
Ketidakadilan ini mencapai titik baru dengan munculnya National Register of Citizens (NRC). Pada 2019, daftar kewarganegaraan yang dirilis di Assam mengejutkan publik: sekitar 1,9 juta orang dikeluarkan dari daftar resmi. Mayoritas dari mereka adalah Muslim keturunan Bengali, termasuk Miya Muslim, yang tak mampu menunjukkan dokumen keluarga dari era lama.
Hilangnya nama dari daftar NRC berarti ancaman stateless, tidak memiliki kewarganegaraan resmi. Orang-orang yang terdampak bisa ditempatkan di kamp detensi imigrasi, sementara hak-hak sipil mereka terancam hilang. Banyak keluarga kini hidup dalam ketakutan, tidak tahu apakah masih dianggap warga India atau tidak.
Pemerintah Assam di bawah BJP justru memperkeras kebijakan. Dengan alasan mengosongkan lahan negara, aparat melancarkan penggusuran massal terhadap permukiman Miya Muslim. Bulldozer dan bahkan gajah digunakan untuk merobohkan rumah warga. Dalam beberapa kasus, bentrokan terjadi hingga menelan korban jiwa di pihak warga.
Penggusuran ini disebut sebagai bagian dari “bulldozer politics”, strategi politik yang menargetkan Muslim dengan alasan penegakan hukum. Namun, kelompok hak asasi manusia menilai langkah itu sebagai cara sistematis untuk membuat komunitas tertentu tetap miskin, terpinggirkan, dan tidak berdaya.
Kondisi sosial ekonomi Miya Muslim sendiri memang rentan. Mereka banyak bergantung pada pertanian di wilayah “char”, pulau-pulau kecil di sungai yang rawan banjir. Pendidikan rendah, akses kesehatan terbatas, dan kemiskinan menjadi masalah yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Meski menghadapi diskriminasi, Miya Muslim berusaha mempertahankan identitas budaya. Beberapa seniman muda mengekspresikan keresahan mereka melalui “Miya poetry”, puisi yang menyuarakan pengalaman diskriminasi. Sayangnya, upaya untuk meneguhkan identitas kultural, termasuk pendirian museum komunitas, sering mendapat hambatan bahkan kriminalisasi.
Situasi ini menimbulkan kritik internasional. Organisasi HAM menyebut perlakuan terhadap Miya Muslim sebagai pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan prinsip kewarganegaraan. Mereka menilai kebijakan NRC dan penggusuran massal hanya memperdalam jurang diskriminasi agama dan etnis di India.
Sementara itu, pemerintah pusat India berargumen bahwa langkah-langkah ini penting untuk menjaga demografi dan keamanan nasional. Namun, banyak akademisi berpendapat kebijakan tersebut sarat muatan politik identitas, apalagi di tengah meningkatnya retorika mayoritarian Hindu di bawah pemerintahan BJP.
Bagi Miya Muslim, persoalan ini bukan sekadar politik, tetapi soal eksistensi. Mereka berjuang membuktikan bahwa mereka adalah bagian sah dari bangsa India, meski sejarah dan stigma selalu dipelintir untuk menyingkirkan mereka. Tanpa dokumen yang lengkap, banyak keluarga hidup dalam ketidakpastian hukum.
Generasi muda Miya Muslim menghadapi dilema yang sulit. Di satu sisi, mereka ingin maju melalui pendidikan dan kerja keras. Di sisi lain, identitas mereka kerap dijadikan alasan untuk menolak mereka dalam pekerjaan maupun partisipasi politik. Diskriminasi itu membuat banyak dari mereka kehilangan harapan.
Tragedi Miya Muslim mencerminkan ketegangan lama di Assam: antara identitas lokal, nasionalisme India, dan warisan kolonial. Migrasi yang awalnya legal kini menjadi beban sejarah yang diturunkan pada generasi berikutnya.
Jika situasi ini terus berlanjut, risiko terbesar adalah lahirnya generasi tanpa kewarganegaraan. Anak-anak Miya Muslim tumbuh tanpa kepastian hak sipil, pendidikan, dan perlindungan hukum. Ini bukan hanya ancaman bagi komunitas mereka, tapi juga bagi demokrasi India sendiri.
Suara-suara pembela HAM mendesak agar pemerintah India mencari solusi yang lebih adil, dengan mengakui realitas sejarah komunitas Miya Muslim. Mengusir mereka bukanlah jawaban, karena mereka adalah bagian dari India selama lebih dari seratus tahun.
Kisah Miya Muslim di Assam menjadi pengingat bahwa persoalan kewarganegaraan bukan hanya tentang dokumen, melainkan juga tentang martabat dan identitas manusia. Selama diskriminasi terus berlangsung, luka sejarah mereka akan tetap terbuka.
Note:
Kata “Miya” punya sejarah makna yang agak rumit, dan konteksnya di Assam berbeda dengan di tempat lain.
1. Asal-usul kata
Kata Miya berasal dari bahasa Persia/Urdu yang berarti “tuan” atau “gentleman”, semacam panggilan kehormatan.
Dalam sejarah India, Miya dulu digunakan sebagai gelar sopan bagi orang Muslim, mirip seperti “sahib”.
2. Penggunaan di Assam
Di Assam, istilah Miya kemudian melekat pada komunitas Muslim keturunan Bengal Timur (Bengali-speaking Muslims) yang menetap di sana sejak masa kolonial Inggris.
Jadi, bukan kasta, melainkan label identitas komunitas.
Awalnya netral atau bahkan hormat, tapi lama-kelamaan berubah menjadi sebutan peyoratif, terutama dipakai oleh kelompok nasionalis Assam dan Hindu kanan untuk menandai mereka sebagai “orang luar” atau “pendatang ilegal dari Bangladesh”.
3. Perbedaan dengan Muslim Assam lain
Di Assam sebenarnya ada dua kelompok Muslim besar:
Assamese Muslims (indigenous Muslims/lokal) yang sudah ada sejak abad ke-13–17, keturunan lokal yang masuk Islam.
Bengali Muslims (Miya Muslims) yang datang dari Bengal Timur pada era kolonial.
Sebutan Miya secara khusus diarahkan kepada kelompok kedua ini.
4. Konotasi hari ini
Saat ini, kata Miya sering dipakai dalam nada merendahkan, mirip “cemoohan etnis”.
Karena itu, sejumlah intelektual dan seniman dari komunitas tersebut berusaha merebut kembali istilah ini melalui gerakan budaya seperti Miya poetry, menjadikannya simbol perlawanan dan kebanggaan.
Singkatnya, “Miya” bukan kasta, melainkan nama panggilan yang dilekatkan pada komunitas Muslim keturunan Bengal di Assam, yang dalam politik identitas India kini sering membawa stigma negatif.
Alasan migrasi:
Baik, saya jelaskan lebih jauh bagaimana peran matabbar dan moneylenders membuat posisi Miya Muslim di Assam rapuh sejak awal.
Pada masa kolonial, Inggris membuka lahan rawa (char lands) di tepi sungai Brahmaputra untuk pertanian. Mereka mendatangkan petani Bengali Muslim sebagai tenaga kerja murah. Namun, petani migran ini umumnya tidak memiliki tanah sendiri. Mereka hanya bisa menggarap lahan yang disediakan oleh elite lokal atau pemerintah kolonial.
Di sinilah peran matabbar muncul.
Matabbar adalah kepala komunitas atau pemimpin desa yang bertugas mengorganisir migran.
Mereka menjadi perantara antara petani miskin dengan tuan tanah atau pejabat kolonial.
Namun, posisi ini sering dipakai untuk memperkuat dominasi elite atas migran, karena petani harus tunduk pada keputusan matabbar untuk mendapatkan lahan garapan.
Sementara itu, moneylenders (pemberi pinjaman, baik dari kalangan Marwari maupun Assamese lokal) menyediakan modal bagi petani migran.
Petani yang tidak mampu membeli benih atau peralatan harus berutang dengan bunga tinggi.
Banyak dari mereka akhirnya terjerat utang dan tidak pernah bisa lepas, sehingga secara de facto bekerja untuk kepentingan para rentenir.
Bahkan jika hasil panen bagus, keuntungan sering habis untuk membayar sewa tanah dan utang.
Barpetia matigiri atau tuan tanah di distrik Barpeta punya kepentingan serupa. Mereka menyewakan lahan kepada migran Bengal, lalu menarik hasil sewa. Dengan begitu, migran tetap berada pada posisi marginal: penggarap, bukan pemilik.
Struktur sosial-ekonomi ini meninggalkan warisan panjang. Hingga kini, banyak keluarga Miya Muslim masih hidup di lahan “char” tanpa sertifikat tanah. Posisi mereka rentan, karena setiap saat bisa dianggap menempati lahan negara dan digusur. Warisan utang dan keterikatan pada lahan sewaan sejak masa kolonial ikut melanggengkan kemiskinan dan ketergantungan.
Singkatnya, matabbar dan moneylenders menjadi aktor yang awalnya membantu migrasi, tetapi dalam jangka panjang justru memperkuat marginalisasi Miya Muslim. Migran diposisikan sebagai tenaga kerja yang bisa dieksploitasi, bukan warga penuh dengan hak kepemilikan tanah.
1. Populasi Miya Muslim
Tidak ada angka resmi yang mencatat “Miya” karena istilah itu lebih merupakan label identitas, bukan kategori sensus. Tapi kita bisa ambil perkiraan dari data:
Muslim di Assam: sekitar 34–35% dari total 36 juta penduduk Assam (sensus 2011). Jadi jumlah Muslim ± 12 juta jiwa.
Dari jumlah itu, diperkirakan sekitar 10–12 juta adalah Bengali-speaking Muslims, yang di Assam sering disebut Miya Muslim.
Jadi bisa dibilang sepertiga populasi Assam adalah Miya Muslim atau setidaknya dianggap bagian dari komunitas itu.
---
2. Kenapa banyak Miya Muslim tak punya surat-surat setelah merdeka?
Ada beberapa alasan historis dan sosial:
1. Asal migrasi kolonial
Nenek moyang mereka datang ke Assam di bawah program migrasi resmi Inggris. Mereka umumnya tidak diberi dokumen kependudukan permanen, hanya izin menggarap lahan.
Setelah India merdeka (1947), banyak keluarga tidak sempat atau tidak tahu cara mengurus dokumen kewarganegaraan.
2. Kehidupan di daerah rawan banjir
Mayoritas Miya Muslim tinggal di lahan “char” (pulau sungai) di Brahmaputra. Setiap tahun banjir besar menghapus desa, rumah, bahkan arsip kertas.
Akibatnya dokumen seperti akta kelahiran, sertifikat tanah, atau KTP lokal sering hilang.
3. Butanya akses birokrasi
Pendidikan di kalangan Miya Muslim rendah, tingkat buta huruf tinggi.
Banyak dari mereka tidak terbiasa dengan sistem administrasi negara modern, sehingga urusan dokumen dianggap tidak penting atau sulit dilakukan.
4. Diskriminasi birokrasi
Bahkan ketika mereka mencoba mengurus dokumen, pejabat lokal sering mempersulit dengan alasan mereka “bukan orang asli Assam”.
Akibatnya, sebagian gagal mendapat sertifikat tanah atau ID resmi.
5. Perubahan batas politik
Setelah Partisi India (1947) dan kemerdekaan Bangladesh (1971), suasana politik berubah drastis. Banyak Miya Muslim yang sebenarnya sudah tinggal lama di Assam ikut terseret tuduhan sebagai “pengungsi baru” dari Pakistan Timur/Bangladesh.
Hal ini membuat status mereka makin diragukan, meskipun secara faktual mereka sudah menetap selama beberapa generasi.
---
Jadi, bukan karena mereka malas atau tak peduli, melainkan karena kombinasi faktor: warisan kolonial, hidup di wilayah bencana, minim pendidikan, dan diskriminasi politik yang membuat akses dokumen hampir mustahil.
Itulah sebabnya ketika proyek NRC (2019) berjalan, banyak Miya Muslim gagal membuktikan dokumen keluarga sebelum 1971. Padahal, secara historis mereka sudah tinggal di India jauh sebelum tanggal itu.
Di Assam, komunitas Muslim tidak hanya berasal dari Miya Muslim (Bengali-speaking migrants), tetapi juga ada beberapa suku atau kelompok etnis asli yang menganut Islam. Berikut rinciannya:
---
1. Muslim Miya (Bengali-speaking)
Keturunan migran dari Bengal Timur (Bangladesh sekarang) sejak era kolonial Inggris.
Mayoritas tinggal di distrik Nagaon, Barpeta, Goalpara, Dhubri.
Bahasa utama: Bengali (dialek lokal Miya).
Masalah utama: diskriminasi, penggusuran, isu kewarganegaraan (NRC).
---
2. Muslim Mech
Suku Mech/Bodo yang sebagian kecil masuk Islam sejak abad ke-16–18 melalui kontak dagang atau dakwah Bengali.
Lokasi: Assam barat, Jalpaiguri dan Cooch Behar di Bengal Utara.
Bahasa: campuran Bodo-Bengali.
Status hukum: termasuk suku asli (indigenous), sehingga tidak terkena stigma “pendatang ilegal”.
---
3. Muslim Koch
Suku Koch, rumpun Bodo-Kachari, sebagian Islam.
Lokasi: Assam utara dan barat.
Bahasa: Koch atau Bengali lokal.
Status: suku asli Assam, punya hak tanah dan kewarganegaraan lebih aman daripada Miya Muslim.
---
4. Muslim Rabha
Suku Rabha, juga bagian dari rumpun Bodo-Kachari, beberapa komunitasnya menganut Islam.
Lokasi: Goalpara, Dhubri, Assam barat.
Bahasa: Rabha dan Bengali campuran.
Masih mempertahankan adat tradisional suku.
---
5. Muslim Garo
Suku Garo (Tibeto-Burman) sebagian Islam.
Lokasi: perbatasan Assam–Meghalaya.
Bahasa: Garo dan Bengali campuran.
---
6. Muslim Assamese (indigenous Assamese Muslims)
Berbeda dari Miya Muslim.
Asal-usul: konversi Islam dari orang Assamese asli sejak abad ke-13–17.
Bahasa: Assamese asli, bukan Bengali.
Lokasi: hampir merata di Assam, termasuk distrik Kamrup, Nagaon, Hojai.
Status hukum: termasuk warga asli Assam → relatif aman dari isu NRC.
---
Ringkasnya
Miya Muslim = migran Bengali → target diskriminasi.
Muslim Mech, Koch, Rabha, Garo, Assamese Muslim = suku asli Assam → mayoritas aman dari tuduhan “pendatang ilegal”.
Posting Komentar