ilustrasi |
“Waktu baru menjabat, Presiden dan kita semua sebenarnya sudah mengikuti gerak hotspot atau titik apinya dengan turun ke lapangan,” ungkap Siti Nurbaya, Jumat (19/7) lalu.
Tapi sayangnya, kata Siti Nurbaya, memang tidak tertolong. Titik api sudah membesar sejak 2015. Karena baru menjabat, tentu semua harus pelajari penyebabnya. “Ada apa nih begini? Kenapa? Di mana letak salahnya? Ternyata banyak yang salah-salah dari yang dulu-dulu. Dan, Pak Jokowi justru membenahi yang salah-salah itu,” jelasnya.
Diungkapkan Menteri Siti, karhutla dulunya ternyata disebabkan persoalan berlapis di tingkat tapak. Mulai dari lemahnya regulasi, sampai pada oknum masyarakat hingga korporasi yang sengaja membakar atau lalai menjaga lahan mereka. Ada konsensi pembukaaan lahan yang menggunakan kontraktor untuk melakukan pembakaran, setelah itu melarikan diri.
“Itu memang terjadi dan terus terjadi berulang. Dulu penegakan hukumnya lemah sekali, tata kelola lahannya kacau. Ada korporasi besar, tapi tak punya peralatan pemadaman, penetapan status yang lamban karena kepemimpinan di daerah lemah, alih fungsi lahan yang bermasalah, izin yang tidak sesuai peruntukan, dan banyak sekali masalah lainnya,” jelasnya.
Saat kejadian karhutla 2015, kata Siti Nurbaya, memang luar biasa kita menabung ilmu masalahnya. Instruksi Presiden Jokowi setelah itu jelas untuk memperbaiki, membenahi, agar tak ada kejadian karhutla lagi. “Apalagi sampai terjadi asap lintas batas ke negara tetangga,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, untuk membenahi tata kelola gambut dengan baik dan berkelanjutan melalui pengawasan izin, penanganan dini melalui status kesiagaan dan darurat Karhutla, dan berbagai kebijakan teknis lainnya.
“Jadi paradigma menangani Karhutla berubah total. Kalo dulu, api sudah besar saja belum tentu Pemda-nya ngapa-ngapain. Pemerintah pusat juga tidak bisa bantu karena harus menunggu status dulu. Harus menunggu api besar dulu baru dipadamkan. Itu yang menyebabkan bencana berulang-ulang. Kalau sekarang, kita antisipasi dari hulu hingga ke hilir. Terjadi perubahan paradigma dari penanggulangan ke pengendalian. Kebijakannya melibatkan banyak stakeholder, termasuk para pemilik izin konsesi. Semuanya berubah total di bawah pengawasan penuh pemerintah,” terangnya.
Pengendalian yang dimaksud mulai dari tahap perencanaan, pencegahan, penanggulangan, pasca kebakaran, koordinasi kerja, hingga pada tahap status kesiagaan. Pengendalian karhutla juga melibatkan TNI/Polri, BNPB, dan lembaga lainnya secara bersama-sama. Hal paling krusial lainnya, untuk pertama kali dilakukan penegakan hukum multidoors bagi pelaku pembakar Karhutla, yakni dengan langkah hukum pidana, perdata dan administrasi. Langkah hukum ini tidak hanya menyasar perorangan, tapi juga korporasi.
Dalam kurun waktu 2015-2018 lebih dari 550 kasus dibawa ke pengadilan baik melalui penegakan hukum pidana maupun perdata. 500 perusahaan dikenakan sanksi administratif terkait pelanggaran yang dilakukan, hingga pencabutan izin. Untuk pengamanan kawasan hutan dan sumberdaya kehutanan lebih dari 713 operasi pengamanan dilakukan dengan melibatkan KLHK, Kepolisian dan TNI. Kasus karhutla yang berhasil dimenangkan nilainya mencapai Rp 18 triliun, dan menjadi nilai terbesar sepanjang sejarah tegaknya hukum lingkungan pasca karhutla 2015.
“Untuk menegakkan hukum ini sangat tidak mudah. Kita sampai berkali-kali digugat balik, saksi ahli juga sampai digugat, tapi kita tidak gentar. Penegakan hukum ini penting untuk memberikan efek jera, agar tak ada lagi yang berani main-main dengan aturan pencegahan terjadinya karhutla berulang,” tegasnya.
Dengan berbagai kebijakan dan upaya seperti di atas, hasilnya bisa dirasakan masyarakat terutama di daerah rawan. Indikatornya dapat terlihat dari penurunan hotspot dari tahun ke tahun, dan berkurangnya luasan lahan terbakar, terutama kawasan gambut. Penurunan jumlah hotspot Tahun 2018 dibandingkan tahun 2015 mencapai 82,14 persen (Satelit NOAA) atau 94,58 persen (Satelit Terra Aqua).
Dengan adanya corrective action terutama pada penetapan status kesiagaan dan keterlibatan lintas instansi, terjadi pengurangan jumlah hari status tanggap darurat Karhutla. Bahkan sepanjang tahun 2016-2018, Indonesia tidak mengalami status darurat akibat karhutla. Luas area terbakar berkurang, menurun hingga 92,5 persen dari 2,6 juta hektar di tahun 2015, menjadi 194,757 hektar di tahun 2018.
Indonesia bahkan menjadi rujukan informasi dan pusat pengetahuan berbagai negara di dunia dalam hal tata kelola gambut, ditandai juga dengan berdirinya International Tropical Peatland Centre atau Pusat Lahan Gambut Tropis Internasional (ITPC). Menurutnya, Pemerintahan Presiden Jokowi banyak mendapat pelajaran penting dari kejadian Karhutla 2015, dan telah banyak langkah koreksi yang dilakukan, baik dalam bentuk kebijakan maupun regulasi berlapis.
“Indonesia yang tadinya dikenal gambutnya sering terbakar, sekarang justru jadi rujukan negara lain untuk belajar,” ucapnya. (sumber)
Posting Komentar